Riauterkini-BENGKALIS-
Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkalis kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan pendekatan humanis melalui keadilan restoratif atau RJ.
Perkara yang diajukan penghentian penuntutannya merupakan tindak pidana kekerasan terhadap anak dengan tersangka berinisial SH alias MS, perempuan, yang dijerat Pasal 80 ayat (1) juncto Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2016.
Peristiwanya terjadi pada Kamis (5/12/24) sekitar pukul 13.00 WIB di area Terminal Gate PT. PHR, Kelurahan Talang Mandi, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Tersangka mendatangi lokasi untuk menemui anak saksi, yang baru saja pulang sekolah. Tanpa banyak bicara, tersangka langsung menampar pipi kanan anak tersebut, mencakar wajahnya, menarik jilbab, serta mendorong tubuhnya sambil mengeluarkan kalimat bernada marah.
Aksi tersebut akhirnya dilerai oleh warga sekitar sebelum tersangka meninggalkan tempat kejadian.
Pengajuan penghentian penuntutan ini dilakukan dengan pertimbangan yakni tersangka belum pernah dihukum, korban telah memaafkan perbuatan tersangka, tersangka telah menjalani sanksi sosial dengan membersihkan rumah ibadah selama dua bulan.
"Tersangka mengakui kesalahan dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan baru pertama kali melakukan tindak pidana. Masyarakat dan keluarga menerima kembali tersangka serta bersedia membimbing ke arah yang lebih baik," ungkap Kajari Bengkalis Dr. Sri Odit Megonondo melalui Kepala Seksi Intelijen (Kastel) Kejari Bengkalis, Resky Pradhana Romli, Jumat (9/5/25).
Dijelaskan Resky, permohonan tersebut akhirnya disetujui oleh Jampidum Kejaksaan Agung RI karena dinilai telah memenuhi ketentuan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kejari Bengkalis menegaskan bahwa penerapan keadilan restoratif merupakan bagian dari upaya membangun penegakan hukum yang tidak hanya berorientasi pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan dan keadilan sosial. Namun demikian, ditegaskan pula bahwa pendekatan ini tidak berarti membuka ruang bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya.
“Keadilan restoratif yang kami terapkan menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara korban dan pelaku serta penguatan nilai-nilai sosial. Ini bukan ruang pengampunan tanpa batas, tetapi jalan menuju keadilan yang lebih menyentuh sisi kemanusiaan,” tambah Resky.
Melalui penghentian penuntutan ini, Kejari Bengkalis berharap dapat memberi contoh bahwa penyelesaian perkara secara damai dengan mempertimbangkan kepentingan korban dan rehabilitasi pelaku adalah langkah maju dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.***(dik)