Riauterkini - TELUKKUANTAN - Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Kuantan Singingi, berhasil menyelesaikan perkara kasus pencurian terhadap anak di bawah umur yang berhadapan dengan hukum melalui diversi, Selasa (29/7/2025) kemarin.
Diversi sendiri adalah penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses luar peradilan. Penyelesaian ini dilakukan hakim tunggal, Subiar Teguh Wijaya, SH Ketua PN Telukkuantan.
Dalam penyelesaian lewat diversi ini, PN Telukkuantan melibatkan Limbago Adat Nogori (LAN) Kabupaten Kuansing yang diwakili Suryawan, Kepala Desa Toar Ardi Setiawan, sebagai pemangku wilayah dari tempat kejadian perkara.
Serta Kepala Desa Koto Gunung, Gustin Masalina, sebab pelaku anak di bawah umur ini dan orang tuanya berdomisili di Desa Koto Gunung. Dan penuntut umum Cintya Maharani Putri Muharnis dan Sangipun selaku Pembimbing Kemasyarakatan.
Juru bicaran PN Telukkuantan, Aulia Rifqi Hidayat, Rabu (30/7/2025) menjelaskan, kasus ini bermula saat anak bersama rekan-rekannya melakukan pencurian buah sawit di kebun milik Bastion (korban) di Desa Toar, Kecamatan Gunung Toar, buah yang dicuri seberat 2.527 kilogram dengan nilai Rp6.772.360.
Aksi pencurian ini, tertangkap oleh warga sekitar yang sudah geram, karena kerap dituduh sebagai pencuri buah sawit pada kebun sekitaran desa tersebut. Kemudian para pelaku diserahkan kepada polisi untuk diproses hukum.
Pelaku sendiri berjumlah empat orang. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapati satu orang pelaku masih berusia di bawah umur.
Untuk pelaku di bawah umur ini, diproses melalui UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan pelaku dewasa lainnya, telah disidangkan dengan berkas terpisah.
Maka berdasarkan UU SPPA, hakim wajib mengupayakan diversi atau pengalihan penyelesaian proses pidana, dengan tujuan mengupayakan perdamaian dan menghindari pidana.
Awalnya dalam proses perundingan, korban merasa tidak punya kapasitas untuk memberikan maaf, karena yang menangkap pelaku anak di bawah umur ini adalah warga.
Kemudian Hakim Subiar berinisiatif untuk mengundang pemerintah desa dan Lembaga Adat, sebagai pihak yang bisa memberikan suara mewakili masyarakat.
Upaya ini didasari pemikiran bahwa penegakan keadilan restoratif (restorative justice) sebisa mungkin melibatkan pihak lain yang terkait dan terdampak.
Hingga inisiatif Hakim Subiar, melalui penyelesaian proses diversi membuahkan hasil dan mencapai perdamaian antara korban dan pelaku yang masih di bawah umur. Lalu dituangkan dalam kesepakatan, dengan isi, pihak korban bersedia memaafkan anak tanpa meminta ganti rugi.
UU SPPA sendiri membolehkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses diversi, dengan melibatkan Kepala Desa Toar, Ardi Setiawan, sebagai pemangku wilayah tempat kejadian perkara, serta Kepala Desa Koto Gunung, Gustin Masalina, wilayah domisili anak di bawah umur dan orang tuanya.
Sementara perwakilan dari lembaga adat adalah Suryawan, selaku ninik mamak dari Limbago Adat Nagori (LAN) Kuansing. Dalam proses diversi tersebut, para perangkat desa serta ninik mamak memberikan nasehat dan petuah kepada pelaku anak yang masih di bawah umur ini.
Kemudian bersepakat untuk memberikan maaf atas nama masyarakat kepada pelaku anak, dengan syarat berupa sanksi adat penyerahan seekor kambing yang akan dipotong dan dinikmati bersama-sama oleh masyarakat setempat.
Lewat proses diversi ini juga, disepakati pelaku yang masih di bawah umur akan dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina, serta akan diawasi oleh pembimbing dari Balai Pemasyarakatan selama tiga bulan.*** (Jok)