BATANG warga tempatan menyebutnya nama lain dari sungai. Di tepian Batang Mandau yang mengalir tenang, ternyata menyimpan sejarah panjang eksplorasi dan industri minyak bumi Riau. Sungai yang dahulu menjadi jalur transportasi utama sebagai titik pendaratan material pertama milik PT. Caltex Indonesia di tahan 1930-an kala itu.
Kini menjelma menjadi destinasi wisata bersejarah bernama Desa Wisata Tepian Batang Mandau di Desa Balai Pungut, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Transformasi ini tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari sinergi antara masyarakat, Pemerintah Desa, Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI), dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) tahun 2025.
“Program Desa Wisata Tepian Batang Mandau menjadi bukti nyata bagaimana sinergi antara masyarakat dan PHR mampu melahirkan potensi baru yang bernilai sejarah sekaligus bernuansa wisata alam,” ujar R. Muhammad Wildan, Sr. Officer CID PHR Zona Rokan.
Menurut Wildan, kehadiran berbagai fasilitas penunjang, peningkatan kapasitas masyarakat, serta pembentukan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) tidak hanya memperkuat identitas lokal, tetapi juga membuka ruang lebih luas bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan melalui sektor pariwisata berkelanjutan.
Dari Sejarah Menuju Kemandirian
Program Desa Wisata Tepian Batang Mandau menjadi bagian dari inisiatif Desa Wisata dan Desa Kreatif PHR Zona Rokan, yang bertujuan memperluas dampak sosial ekonomi positif bagi masyarakat sekitar wilayah operasi.
Melalui program ini, masyarakat Desa Balai Pungut mendapatkan pelatihan manajerial dan teknis mencakup perencanaan destinasi, pengelolaan keuangan, pengembangan paket wisata, gastronomi, pemasaran digital, hingga promosi melalui media sosial. Bahkan sistem pembayaran digital mulai diterapkan agar transaksi wisata lebih mudah dan transparan.
Selain itu, kawasan wisata kini dilengkapi sampan dan gazebo yang menjadi daya tarik bagi wisatawan sekaligus sumber penghasilan baru bagi warga. Program ini juga didukung oleh pemerintah desa melalui pembangunan sarana fisik, termasuk gazebo yang dibiayai dari anggaran desa.
Hasilnya pun mulai terasa. Pendapatan kelompok dari hasil pengelolaan wisata mencapai Rp14 juta per tahun, sementara jumlah wisatawan meningkat hingga 75 persen dibanding tahun sebelumnya. Pokdarwis yang beranggotakan lebih dari 15 orang kini menjadi ujung tombak penggerak ekonomi pariwisata di Balai Pungut.
“Desa Wisata Tepian Batang Mandau bukan hanya kebanggaan Balai Pungut, tetapi juga aset berharga yang siap mengangkat citra pariwisata Bengkalis dan Riau ke tingkat yang lebih tinggi,” tegas Wildan.
Menjaga Jejak Sejarah Lewat Tugu Nasi Kunyit
Sementara itu, Ketua BUMDes Tuah Melayu, Majrun, mengisahkan bahwa hubungan Balai Pungut dengan industri minyak sudah terjalin sejak era awal PT. Caltex Indonesia beroperasi di wilayah Mandau.
“Sebelum ada jalan lintas darat, Sungai Mandau inilah jalur utama keluar masuk orang dan barang. PT Caltex dulu menjadikan kawasan ini sebagai yard, tempat menumpuk material sebelum lapangan minyak Duri selesai,” kenang Majrun.
Untuk menjaga agar sejarah itu tidak hilang, masyarakat Balai Pungut berinisiatif mendirikan Tugu Nasi Kunyit — monumen sederhana yang kini berdiri di lokasi bekas pelabuhan Caltex di ujung Jalan Pelabuhan desa tersebut. Dapat ditempuh sekitar 30 menit dari Kota Duri, Kecamatan Mandau, tugu ini menjadi simbol persahabatan dan pengingat keterikatan sejarah antara perusahaan minyak dan masyarakat setempat.
Kini telah berubah fungsi menjadi objek wisata unggulan desa, dikelola langsung oleh BUMDes Tuah Melayu. Di bawah koordinasi unit pariwisata, masyarakat setempat berperan aktif menjaga kebersihan, kenyamanan, serta mengembangkan potensi ekonomi di sekitar lokasi wisata.
“Kami tidak ingin sejarah itu hilang. Sekarang kawasan ini menjadi tempat wisata, dan dikelola oleh BUMDes. Harapan kami, SDM di desa terus dibimbing agar lebih profesional dalam pengelolaan pariwisata,” ujarnya.
UMRI dan PHR Dorong Desa Wisata Mandiri
Program pengembangan desa wisata di Kabupaten Bengkalis kini tidak lagi sebatas kegiatan seremonial. Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) bersama PT. PHR mendorong agar setiap langkah dalam pelaksanaannya berbasis data, terukur, dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.
Sebagai mitra pelaksana program, UMRI menegaskan tanggung jawabnya bukan hanya menjalankan kegiatan lapangan, tetapi juga memastikan adanya pendekatan ilmiah dalam setiap tahapan. Untuk itu, UMRI bersama PHR menggandeng Desa Wisata Institut sebagai tenaga ahli dalam penyusunan Rencana Induk Pariwisata Desa (RIPARDA).
“Tidak semua desa wisata memiliki rencana induk pariwisata. Melalui kerja sama ini, kami ingin setiap desa memiliki panduan pengembangan yang jelas dan bisa menjadi dasar pengajuan pendanaan, baik dari PHR, dunia akademik, industri, maupun pemerintah,” ujar PIC Desa Wisata UMRI-PHR, Delovita Ginting.
Ia menambahkan, keberadaan rencana induk ini juga diharapkan dapat dimasukkan ke dalam dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) sektor pariwisata desa. Dengan begitu, arah pembangunan desa wisata akan lebih terarah, selaras dengan kebijakan pembangunan daerah.
Tak hanya itu, berbagai even budaya dan olahraga tradisional turut menjadi magnet bagi wisatawan. Di antaranya pacu sampan dan lomba memancing yang secara rutin digelar setiap tahun.
“Kegiatan ini terbukti memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. UMKM bisa memperoleh tambahan pendapatan hingga Rp10 juta setiap kali event berlangsung,” jelasnya.
Dalam setahun, total perputaran uang dari kegiatan ekonomi kreatif dan pariwisata desa mencapai lebih dari Rp90 juta, belum termasuk pemasukan dari tiket masuk kawasan wisata yang rata-rata mencapai Rp800 ribu per hari.
Khusus saat pelaksanaan pacu sampan, jumlah pengunjung bahkan bisa menembus seribu orang, yang berarti peningkatan ekonomi lokal berlangsung secara nyata.***(dik)