Riauterkini - TELUKKUANTAN - Sebelum disidak Bupati Kuansing, DR. Suhardiman Amby, Ak. Pabrik milik PT. Gemilang Sawit Lestari (PT. GSL) ternyata sampai menampung 200 ton TBS perhari diduga disuplay dari lahan kawasan TNTN atau wilayah Toro.
Jika dikalkulasikan jumlah tonasenya cukup signifikan, dalam praktek ilegal ini negara dirugikan mencapai ratusan miliar karena tidak masuk perhitungan DBH.
Pasalnya lahan dalam kawasan ini tidak terdata dan tidak memiliki Izin Usahan Perkebunan (IUP) sebab berada dalam kawasan. Hal ini pun telah mendapat perhatian pihak terkait yang menangani masalah kawasan.
Bahkan sebelumnya Tim Gakkumdu telah melakukan razia besar-besaran melakukan penertiban lahan perkebunan dalam kawasan beberapa waktu lalu.
Sumber menyebutkan, perharinya sebelum disidak Bupati, TBS dari kawasan ini disuplay menggunakan truck tronton maupun dump truck sedikitnya ada 20 - 50 mobil. Untuk truck tronton ini jumlah tonasenya sekitar 20 ton, dump truck 8 - 10 ton per mobil.
"Sejak disidak Bupati memang berkurang, tapi PT. GSL tetap memasok buah dari Toro. Untuk mengelabui petugas mereka menggunakan mobil orang kampung, mereka tidak kehilangan akal," ungkapnya.
Buah dari Toro ini, dipasok GSL menurut sumber untuk mencukupi kebutuhan produksi perharinya, jika tidak maka GSL akan mengalami kerugian, sebab GSL ini tidak memiliki kebun inti untuk memenuhi pasokan sendiri.
"Maka buah dari Toro ini, sumber utama mereka untuk. Kemudian koperasi, dan terakhir kebun masyarakat hanya nomor tiga. Kalau buah masyarakat dianggap remeh dan tidak utama," bebernya.
Humas PT. GSL Agus, dan Asissten Pabrik Allen Changtino, dikonfirmasi secara terpisah tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, baik masalah kebun inti maupun buah ilegal dari Toro, yang masih mereka tampung.
Bupati sebelumnya menyebutkan, kerugian negara dari praktek pabrik nakal ini, mencapai ratusan miliar rupiah, sehingga dirinya melakukan auditor ke sejumlah pabrik yang beroperasi di Kuansing.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam praktek ilegal ini, PT. TAL dan PT. GSL dapat dijerat UU Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU) atas dugaan menampung buah ilegal.
Mengenai hal itu, diatur UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 3 ayat (1) UU No. 8/2010 menyebutkan, tindak pidana pencucian uang adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan tujuan menghilangkan atau memusnahkan jejak hasil tindak pidana.
Jenis Tindak Pidana seperti Perusakan lingkungan hidup (Pasal 41 UU No. 32/2009) dan Penggunaan lahan tanpa izin (Pasal 64 UU No. 18/2013).
Atas kegiatan ilegal ini, palaku dapat disanksi Pidana penjara maksimal 10 tahun, denda maksimal Rp10 miliar, pencabutan izin usaha, Perintah untuk menghentikan aktivitas.
Untuk dapat menyelesaikan perkara TPPU, tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime). Sesuai Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Tindak pidana asal atau predicate crime adalah kejahatan yang menjadi sumber dari dana atau aset yang dicuci melalui berbagai transaksi untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal.
Konsep ini didasarkan pada prinsip follow the money, yaitu fokus pada perampasan harta kekayaan. Dengan demikian, penindakan TPPU tidak perlu menunggu pembuktian tindak pidana asalnya.
Dalam UU terbaru No 8 tahun 2010 ini, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana pencucian uang.*** (Jok)