Riauterkini - PEKANBARU - Dualisme kepengurusan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) sampa hari ini belum final. LAMR pimpinan Tan Seri Syahril Abubakar, kembali mengeluarkan pernyataan soal sengketa kepengurusan.
Melalui surat B-002/LAMR/II/2024, Syahril Abubakar menyurati Gubernur Riau selaku pembina Ormas Provinsi Riau, meminta penegasan terkait Putusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu.
Melalui keterangan rilisnya, Syahril Abubakar selaku Dewan Pimpinan Agung LAMR atas putusan Mahkamah Agung (MA) Perkara Perdata Gugatan Banding/Kasasi No. 2007 K/PPT/2023 Tanggal 24 Agustus 2023.
Ada pun pernyataan tersebut, pertama Syahril meminta konflik hukum antara LAMR hasil mubeslub dengan LAMR hasil mubes di LAMR Dumai dalam sengketa organisasi pihak Pengadilan Negeri Pekanbaru dan Mahkamah Agung menyatakan tidak berkewenangan untuk mengadili perkara organisasi yang terjadi di Lembaga Adat Melayu Riau, walaupun masih ada upaya hukum terakhir yang kita kenal dengan Peninjauan Kembali (PK).
Kedua, dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Agung yang menyangkut kewenangan mengadili (competensi absolut) maka Mahkamah Agung memutuskan supaya diselesaikan melalui Dewan Kehormatan Adat (DKA) Lembaga Adat Melayu Riau.
Ketiga, manakala konflik organisasi LAMR tersebut harus diselesaikan secara internal oleh Dewan Kehormatan Adat (DKA), menurut hemat kami dalam kewenangan yang diatur pada Anggaran Rumah Tanggal LAMR BAB IV Pasal 4 ayat 1 tidaklah cukup kuat menyelesaikan sengketa dimaksud.
Adapun bunyi Pasal 4 ayat 1 adalah sebagai berikut yakni Dewan Kehormatan Adat (DKA) berfungsi sebagai unsur persebatian Lembaga Adat Melayu Riau dengan Tetua Adat, Ulama dan Tokoh Masyarakat Melayu Riau yang dapat memberikan tunjuk ajar, petuah Amanah dalam melaksanakan kegiatan Lembaga Adat Melayu Riau
Keempat, sejalan dengan Perda No. 1 tahun 2012 tentang Lembaga Adat Melayu Riau pada Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 4, LAMR sebagai organisasi kemasyarakatan di hubungkan dengan kewenangan Gubernur selaku Pembina Organisasi Kemasyarakatan dalam kewenangannya yang di atur dalam suatu perundang-undangan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka menjadi kewajiban Tuan Gubernur dapat melakukan MEDIASI dalam penyelesaian Konflik LAMR yang sudah berlarut-larut tersebut secara adil dan bijak.
Lima, sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung, dimana Lembaga Adat Melayu Riau Provinsi Riau masih dalam proses penyelesaian konflik/ sengketa oleh Dewan Kehormatan Adat (DKA).
Maka untuk menciptakan kesetaraan para pihak Pemerintah Provinsi Riau selaku Pembina organisasi masyarakat termasuk Masyarakat Hukum Adat tentunya harus bersifat netral dan menghormati Putusan Mahkamah Agung, untuk itu diharapkan Pemerintah Provinsi Riau/Gubernur Riau tidak memberikan dana hibah, maupun menyerahkan Gedung Balai Adat dan Mobil Dinas kepada Lembaga Adat Melayu Riau manapun oleh Dinas Kebudayaan dan BPKAD Provinsi Riau sebelum ada kepastian legalitas Pengurus Lembaga Adat Melayu Riau itu sendiri diputuskan.
Tidak melibatkan salah satu Lembaga Adat Melayu Riau pada kegiatan-kegiatan provinsi, guna menghindari adanya pilih kasih sekaligus tegaknya Aturan dan Keadilan.
Dari permasalahan-permasalahan yang kami utarakan tersebut di atas, besar harapan kami dengan kewenangan yang ada pada Tuan Gubernur dalam mengangkat Marwah Melayu di Provinsi Riau pada penyelesaian Konflik LAMR oleh Dewan Kehormatan Adat (DKA) Lembaga Adat Melayu Riau Masa Khidmat 2017-2022M bagi anggota DKA yang tidak terlibat dalam konflik Lembaga Adat Melayu Riau.
Pernyataan melalui surat resmi ini ditandatangani Tan Seri Abubakar selaku Dewan Agung LAMR. Kemudian Armansyah selaku Timbalan Setia Usaha Agung. ***(rls)